
Tiba-tiba Hilmi mengajukan tawaran solusi. “Adik punya ide. Bagaimana kalau kita hom..pim..pa..”, usul Hilmi pada kakaknya. Hilmi melanjutkan, “kalau begini (sambil memperlihatkan telapak tangan menghadap ke atas) berarti dapat buku merah, kalau begini (menelungkupkan telapak tangan) hijau.” Nadya sepakat dan keduanya mulai hom..pim..pa. Karena mereka sama-sama menginginkan yang warna merah, tentu saja keduanya memperlihatkan telapak tangan menghadap ke atas. Hal ini berulang beberapa kali dan tetap saja sama hasilnya. Nadya emosi, “adik Hilmi jangan ikut-ikutan begini (menghadap ke atas). Adik Hilmi begini (menghadap ke bawah) aja”. Hilmi menjawab, “kita (saya,pen) kan juga mau yang warna merah”.
Karena deadlock, Hilmi menawarkan solusi lain. “Ya sudah, kalau begitu kita sut aja. Kalau gunting dapat merah, kalau kertas dapat hijau.” Nadya lagi-lagi setuju. Keduanya kembali menyodorkan tangan. Nadya dan Hilmi sama-sama menyodorkan simbol gunting. Diulang, tetap sama hingga beberapa kali.
Hilmi melihat bahwa tawarannya belum membuahkan hasil. Dia lalu menawarkan solusi yang ketiga. “Mending, gini aja. Kita ambil crayon. Kalau ambil crayon biru berarti dapat buku merah, kalau crayon kuning berarti hijau.” Solusi ketiga Hilmi ini masih sama logikanya dengan yang pertama dan kedua. Belum bisa menyelesaikan masalah. Tapi, lagi-lagi Nadya setuju. Keduanya lalu mengambil crayon di tas masing-masing. Tentu saja, karena sama-sama mau buku gambar merah, keduanya mengambil crayon biru. Deadlock kembali terjadi.
Agar tidak berlarut-larut, Ummi mereka akhirnya menengahi. Apa yang ditawarkan Hilmi memang belum bisa menyelesaikan masalah, namun Hilmi punya poin positif dari kasus ini. Hilmi punya inisiatif memecahkan masalah dan punya usulan penyelesaian. Logika Hilmi memang belum sampai pada akar masalah, tapi dia sudah menuntun sel-sel syarafnya untuk bekerja ke arah akar masalah.
No comments:
Post a Comment