Monday, May 25, 2009

Selera Tradisional

Saat orang-orang di rumah makan brownies sebagai pendamping teh hangat di sore hari, Hilmi memilih menikmati 'bannang-bannang' (Makassar) atau 'uhu-uhu' (Bugis). Ketika anak-anak yang lain berebut biskuit Tango, Hilmi asyik sendiri dengan 'jipang' (atau 'bepang')nya. Selera Hilmi adalah selera tradisional, khususnya untuk jenis kue-kue.
Nenek Hilmi kalau datang dari Bulukumba biasanya membawa macam-macam makanan. Pisang goreng, kue-kue kering, jipang, dan yang lainnya. Dari sekian banyak kue-kue itu, Hilmi cenderung menyukai 'jipang' dibanding yang lainnya. Kue yang biasanya berbentuk balok itu dibuat dari bahan gula merah atau gula pasir. Kalau digigit akan bunyi kriuk..kriuk..
Lain lagi cerita saat kami nginap di rumah nenek Hilmi di Rappocini. Nenek Hilmi menyediakan 'bannang-bannang' untuk dinikmati bersama susu hangat. Nenek memperhatikan Hilmi yang kelihatan sangat menikmati kue yang juga dari bahan gula merah itu. Saat pulang ke BTP, nenek menghadiahkan kue 'bannang-bannang' yang sangat banyak.
Sesampainya di rumah, kue tersebut kami simpan dalam toples, tapi masih bersisa beberapa biji di luar toples. Tanpa pikir panjang, abi menyimpan sisa kue itu di dalam kulkas. Tentu saja, kue yang tadinya renyah ketika dimakan berubah menjadi kue yang agak sulit digigit dan dikunyah.
Heran, kalau lagi mau makan kue, Hilmi hanya mencari kue 'bannang-bannang' itu. Ketika yang di dalam toples sudah habis, meskipun agak repot, Hilmi tetap saja melahap 'bannang-bannang' yang dari dalam kulkas, padahal agak sulit digigit. Dasar Hilmi...

[+/-] Selengkapnya...

Friday, May 22, 2009

Jawaban Hilmi

Tiba-tiba Hilmi berlari sambil membawa 2 bola, 1 miliknya sendiri dan satunya lagi milik Nadya. Tidak jauh. Tetap di dalam rumah. Tiap kali Nadya mendekat dan mencoba merebut kembali bolanya, Hilmi kembali menjauh sambil berseru:"Cencing dulu, balu kaci bolanya (Kencing dulu, baru saya kasih bolanya, pen)".
Tidak lama sebelum Hilmi merampas bola Nadya, ia mendengar ummi yang meminta Nadya segera ke kamar mandi untuk kencing, karena sudah beberapa jam tidak pernah kencing. Nadya memang sering menunda kencing kalau lagi asyik main atau karena memang lagi malas ke kamar mandi.
Dua hari yang lalu, Abah Cikin datang dari Bulukumba dan nginap di rumah. Beliau memberi selembar uang lima-puluh-ribu untuk dibagi oleh Nadya dan Hilmi. Awalnya, uang itu disodorkan pada Nadya, tapi Nadya tidak mengulurkan tangannya. Ketika disodorkan pada Hilmi, dia langsung menyambarnya.
Supaya tidak salah paham, Ummi mengingatkan bahwa uang itu untuk Nadya dan Hilmi. Tapi Hilmi malah nyeletuk sambil mengulurkan sendok-mainan yang ada di tangannya seraya berujar, "kakak cendok caja". Sontak kami tertawa mendengarnya.
Kemarin malam, Hilmi dan Nadya lagi asyik membuka-buka buku kecil berisi aneka huruf dan angka. Masing-masing memiliki 4 eksemplar yang isinya berbeda-beda. Karena haus, Nadya berhenti sejenak dan meinta dibuatkan susu. Nadya pun minum susu dan tidak menghiraukan lagi buku-bukunya. Ternyata buku-buku itu diambil semua oleh Hilmi. Ketika Nadya melihat buku-bukunya diambil Hilmi, dia meminta Hilmi mengembalikan padanya. Lagi-lagi Hilmi menjawab sambil mengelak, "minum cucu dulu kakak".

[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, May 20, 2009

Meminta dengan Cara yang Lebih Baik

"Mainanku itu, dik", "anuku itu", "abi, ambilkanka bolaku sama ade' Hilmi". Kalimat-kalimat itu sering diucapkan Nadya ketika mau mengambil mainan atau sesuatu yang sedang dipegang adiknya. Kadang-kadang malah langsung merampasnya dari tangan adiknya. Tapi, sore tadi agak berbeda. Nadya mencoba 'berdiplomasi'.
Menurut informasi dari ummi, bola-karet-berduri yang selama ini 'tersimpan' rapih di bawah ranjang di kamar, ditemukan Hilmi dan kemudian dimainkannya. Bola-karet itu berwarna merah. Dulu, abi membeli 2 bola-karet-berduri seperti itu. Satu warna merah, dan lainnya warna biru. Sesuai keinginan masing-masing, disepakati bahwa bola merah milik Nadya dan bola biru punya Hilmi.
Setelah dipakai beberapa lama, bola biru bocor dan tidak pernah dipakai lagi. Yang warna merah pun menggelinding jauh ke bawah ranjang di kamar. Akhirnya, bola merah itu pun 'bersemayam' di sana.
Sebagaimana biasanya, mainan yang sudah lama tidak digunakan tentunya akan dirindukan. Wajar kiranya, saat melihat bola itu, Hilmi mengambilnya dan mengklaim sebagai miliknya. Dia pun bebas memainkannya sendiri. Saat coba diminta oleh Nadya, Hilmi tidak memberikannya. Nadya kemudian cukup puas dengan memainkan bola lain, sebuah bola pingpong yang ukurannya jauh lebih kecil dari bola-karet tadi.
Sore hari, saat abi sudah bergabung dengan anak-anak, Hilmi sedang asyik kembali memainkan bola-karetnya. Tiba-tiba Nadya memintanya. "Saya lagi, ade'. Hilmi dari tadiji main bola itu", bujuk Nadya pada adiknya. Hilmi tidak bergeming. Abi dan ummi juga mencoba membujuk Hilmi, tapi tidak berhasil. Tiba-tiba Nadya angkat bicara lagi. "Kukira Hilmi suka bola warna biru. Waktu dibelikan adik Hilmi mau bola biru. Kenapa ade' Hilmi main bola merah?", tanya Nadya retoris. Rupanya, Nadya mencoba mengingatkan kami semua bahwa sebenarnya bola-merah yang sedang dimainkan Hilmi itu adalah miliknya. Maka seharusnya, bola itu diberikan padanya. Kira-kira begitu maksud perkataan Nadya tadi. Tapi, begitulah cara Nadya meminta untuk yang kesekian kalinya. Kali ini, lebih diplomatis. Ck..ck..ck..Nadya memang makin cerdas.

[+/-] Selengkapnya...

Wednesday, May 13, 2009

Antara Kasihan dan Bangga

Pekan lalu, ummi mengikuti pengajian di rumah teman akrabnya di daerah Paccerakkang, Makassar. Saya, Nadya, dan Hilmi juga ikut. Sambil menunggu ummi yang sedang serius dengan teman-temannya, Nadya dan Hilmi main dengan anak-anak yang lain.
Beberapa saat kemudian, sebuah gerobak bakso lewat di depan rumah tempat anak-anak main. Salah seorang di antara mereka memanggil penjual bakso tersebut dan memesan 1 tusuk bakso. Melihat ada yang beli bakso, anak-anak yang lain ngiler juga. Mereka bergegas ke dalam rumah meminta uang pada ibunya masing-masing kemudian segera memesan bakso tusuk.
Saya tergerak mencari-cari Nadya. Mungkin kalau saya tawari, dia mau juga makan bakso. Hilmi yang ada di dekat saya sedang sibuk dengan mainannya. Saat beranjak mencari Nadya, dari jauh terlihat Nadya berada di antara anak-anak yang sedang makan bakso dan sedang menunggu bakso pesanannya. Wajahnya memelas sambil silih-berganti memandang bakso dan penjualnya serta anak-anak yang sedang makan bakso. Rupanya dia ngiler juga. Tapi dia tidak minta bakso temannya, tidak mencari saya atau umminya untuk minta uang, apalagi langsung memesan bakso ke penjualnya. Dia hanya berdiri mematung di tempatnya.
Saya kasian melihat pemandangan itu dan segera menghampirinya. Dengan lembut dan penuh kasih sayang disertai rasa kasihan, saya tanyakan keinginannya untuk makan bakso tusuk dan dia mengiyakan. Bersama Hilmi, dia pun makan bakso beserta teman-temannya yang lain.
Nadya dan Hilmi memang tidak terbiasa dengan jajanan yang lalu-lalang di sekitarnya. Jika ada penjual mainan anak lewat di depan rumah, sementara mereka sedang main di teras, mereka hanya menyahut,"adaji mainanku mas" sambil melanjutkan bermain. Kalaupun ada yang kelihatan menarik dari mainan yang dijual itu, mereka hanya memandang sampai penjula mainan itu berlalu dari pandangannya.
Kalau ada penjual es krim 'memanggil-manggil' sambil mondar-mandir di depan rumah dan mereka mendengarnya, mereka hanya berujar "tidakji, mas. nanti batuk".

[+/-] Selengkapnya...

Keluarga NHA

Keluarga NHA