Wednesday, May 28, 2008

Belajar Mencocokkan Sesuatu

Saya masih ingat salah satu bentuk soal latihan dan soal ulangan sewaktu sekolah dulu, bentuk penjodohan. Di sebelah kiri, ada beberapa kata dengan kategori tertentu (misalnya nama-nama provinsi) yang harus dipasangkan dengan beberapa kata di bagian kanan dengan kategori lain yang berhubungan dengan kategori yang di bagian kiri tadi (misalnya ibukota provinsi). Siswa yang bisa menjawab soal bentuk ini tentunya adalah yang hafal atau paham dengan pasangan tiap-tiap kata.
Hari Ahad kemarin, Nadya memperlihatkan kecenderungan sudah mulai belajar memasangkan atau mencocokkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Di tengah-tengah keasyikannya bermain dan belajar, Nadya meminta umminya untuk menggambar di kertas. Yang dia minta untuk digambar macam-macam, jenis-jenis hewan, balon, jenis-jenis kendaraan, orang, dan sebagainya. Kemudian Nadya minta digambarkan dirinya. Setelah gambar Nadya jadi, ummi bertanya, “Nadya pakai apa?” (maksudnya, di bagian kepala biasanya nadya pakai apa?). Spontan saja Nadya menjawab “jibba’ (jilbab)”. Trus ummi tanya lagi, “siapa lagi yang mau digambar?” Nadya jawab “Immi (Hilmi, adiknya)”. “Pakai apa?”,tanya ummi lagi. “ee...topi”, kata Nadya. Begitu seterusnya, hingga beberapa orang, Ummi:jilbab, Iccank:topi, dan lain-lain. Ketika tiba giliran abi digambar, ummi tanya lagi, “pakai apa?”, dengan spontan Nadya menjawab:”helm”. Hehehe... ternyata yang Nadya ingat adalah saat abinya mau keluar rumah atau tiba di rumah setelah bepergian.

Hal lain yang menampakkkan proses belajar dan daya ingatnya adalah saat ummi tanya, “siapa lagi?”, Nadya menjawab:”Inna (maksudnya adalah tante Misnah)”. Mungkin karena siang kemarin baru saja dari rumah sakit menjenguk tantenya tersebut. Nadya kelihatan berpikir agak lama ketika ditanya, “pakai apa?”. Mungkin Nadya berpikir, “biasanya perempuan pakai jilbab seperti Nadya dan Ummi, tapi tante Inna tidak pernah saya liat pakai jilbab. Pakai topi, tidak cocok, apalagi helm”. Setelah agak lama berpikir, akhirnya dia bilang “pakai jibba’ saja”. Tentunya dia berpikir, meskipun tante Inna tidak pernah kelihatan pakai jilbab, tapi hanya jilbab yang paling cocok digambarkan di kepala tante Inna (dibandingkan topi atau helm).
Mendengar cerita dari ummi di atas, saya jadi sangat bangga pada Nadya. Bangga atas proses belajarnya, penggunaan logikanya, daya ingatnya, dan tentu saja spontanitasnya. “Fabiayyi aalaairabbikumaa tukadz-dzibaan”.

Makassar, 21 April 2008

[+/-] Selengkapnya...

Hilmi is Back

Hal yang paling menyenangkan bagi orangtua adalah melihat nafsu makan yang baik pada balitanya. Sejak bisa mengkonsumsi makanan selain susu (usia setahun), Hilmi memiliki nafus makan yang bagus. Kalau makan selalu lahap. Apalagi kalau lagi lapar, terlambat sedikit saja disuap, Hilmi akan merengek dan “menyerang” yang memegang piringnya.
Nafsu makan Hilmi dalam sebulan terakhir ini mulai hilang. Kami tentu saja sangat khawatir akan mempengaruhi kesehatan dan daya tahan tubuhnya. Terbukti dari berat badannya yang turun drastis, juga kelihatan agak kurus. Teman-teman ummi yang biasanya berkomentar “bagus badannya Hilmi tawwa”, pekan lalu mengamini kalau Hilmi sudah kelihatan kurusnya. Selera makan Hilmi makin menurun sejak kena flu 2 pekan lalu.
Tapi entah karena pengaruh apa, sejak 2 hari yang lalu, nafsu makan Hilmi mulai meningkat. Bukan hanya 1 atau 2 sendok nasi & lauk yang masuk ke mulutnya, tapi bisa habis 1 piring kecil. Nampaknya, kemarin saat makan siang Hilmi sempat nambah beberapa sendok setelah sepiring nasinya habis dia santap. Melihat selera makan yang sudah mulai pulih, saat makan malam kemarin ummi bilang:”Ini baru Hilmi namanya...”. Memang, sepertinya kami kehilangan Hilmi dalam sebulan terakhir ini. Hilmi yang sebenarnya baru kembali 2 hari yang lalu. Hilmi yang selera makannya bagus, yang tidak sabaran selalu mau cepat disuap, selalu merampas kaka’nya kalau sedang makan kue atau cemilan lainnya. Hilmi is back. We hope so...

Makassar, 28 April 2008

[+/-] Selengkapnya...

“Sayapa, Ummi Capek”

Pada usia menjelang dua setengah tahun, Nadya makin pandai menggunakan memorinya untuk “menguatkan argumennya”. Kemarin, seperti yang biasa dilakukannya, Nadya meminta umminya untuk menyanyikan beberapa lagu anak-anak yang sudah sering dia dengarkan, seperti “balonku”, “cicak di dinding”, “burung kakatua”, dan yang lainnya. Setelah menyanyikan beberapa lagu, ummi merasa capek juga, sementara Nadya masih memintanya menyanyikan lagu yang lain. “Capek ummi, nak”, kata ummi beralasan.

Beberapa menit kemudian, Nadya nyanyi-nyanyi sendiri. Ketika ada sya’ir lagu yang dia nyanyikan salah, spontan ummi menegur dan memberitahu perbaikannya. Tanpa diduga, Nadya justru protes dengan teguran umminya sambi berujar:”sayapa, ummi capek”. Mungkin maksud nadya, “ummi tidak usah tegur-tegur Nadya, khan ummi capek, biarkan saja saya nyanyi sendiri”. Hehehehe... ternyata ummi bisa dibuat keki sama Nadya.

Makassar, 18 April 2008

[+/-] Selengkapnya...

Gangguma’, Kugigikko !

Sebenarnya kebiasaan Hilmi ini sudah lama kami tahu. Bahkan keluarga yang lain juga sudah tahu dan sudah pernah merasakannya. Hilmi gemar menggigit. Awalnya, menggigit “apapun”, lama-kelamaan berkembang menjadi “siapapun”.
Efek gigitan Hilmi juga tidak main-main. Seringkali gigitan Hilmi berbekas di kulit, di tangannya Abi, di perutnya Ummi, bahkan di punggunga Nadya.
Sejak kira-kira dua bulan lalu, awal Hilmi mulai gemar menggigit, kelihatannya hanya sekedar sebagai kegemaran, karena suka saja, kemudian jadi kebiasaan. Namun akhir-akhir ini, menjadi agak mengkhawatirkan. Hilmi mulai menggunakan gigitannya sebagai “senjata”. Hilmi memang paling dekat dengan umminya. Dia tidak senang kalo Nadya bermanja-manja dengan ummi. Kalo Hilmi butuh ummi, tapi Nadya ada dipangkuannya, maka Hilmi mulai bereaksi. Dia mendekat ke ummi, minta dipeluk atau dipangku sambil mendorong-dorong Nadya agar segera menjauh dari ummi. Kalo Nadya tidak bergeser, maka Hilmi bereaksi lebih keras. Dia menggigit Nadya.
Pada kesempatan lain, ketika Nadya sedang belajar menggambar bersama ummi, Hilmi datang mengganggu. Dia merampas pensil Nadya. Ummi mengalihkan perhatiannya dengan mengambil pensil lain untuk Hilmi. Ternyata Hilmi duduki kertas gambar. Ummi ambil kertas lain, lalu Ummi dan Nadya mulai lagi menggambar. Merasa usahanya tidak berhasil, Hilmi menggigit Nadya. Nadya berteriak kesakitan. Ummi menegur Hilmi, “jangan Hilmi, tidak boleh gigit kakak”. Dapat teguran ummi, malah Hilmi mendekat dan menggigit ummi. Wah, anak abi semakin ganas rupanya...ck..ck..ck..

Makassar, 21 April 2008

[+/-] Selengkapnya...

Uaa..uaa..uaaaa...

Sepertinya sifat anak-anak memang begitu, apalagi yang masih berusia balita. Sebagai seorang ade’, sifat paling menonjol dari Hilmi adalah selalu ikut-ikutan dengan kaka’nya, Nadya. Nadya main balon, Hilmi ikut main balon. Nadya naik ke kursi, Hilmi ikutan naik di kursi. Nadya ke teras rumah, Hilmi menyusul ke teras rumah. Bahkan untuk hal yang belum bisa diikuti sepenuhnya pun, Hilmi tetap berusaha meniru kaka’nya.
Kalo Nadya sedang menyanyi, apalagi kalo lagunya lengkap dan cara menyanyinya serius, biasanya Nadya mendapat pujian dari Abi atau Ummi. Mungkin selain sekedar mau ikut-ikutan, Hilmi juga mau mendapatkan pujian yang sama, sejak pekan lalu, Hilmi berusaha menyanyi. Ketika Nadya sedang menyanyikan sebuah lagu, tiba-tiba Hilmi ikut bersuara:”ua..uaa..uaaaa...”. awalnya, kami tidak paham kalo suara Hilmi tersebut adalah nyanyiannya. Setelah hal serupa diulang-ulang, barulah kami paham kalo ternyata Hilmi sedang bernyanyi.

Makassar, 21 April 2008

[+/-] Selengkapnya...

Ummi, Beya’ Immi

Salah satu kelebihan anak batita adalah belum munculnya perasaan jijik yang berlebihan terhadap sesuatu. Nadya termasuk salah satu dari mereka.
Usianya masih 2 tahun 2,5 bulan, ketika suatu hari mengagetkan umminya. Hilmi, adiknya yang masih berumur setahun waktu itu sedang beol, dan tahinya jatuh ke lantai. Ketika mengetahui Hilmi beol, Si Ummi langsung mengangkatnya dan membawa ke kamar mandi untuk dibersihkan. Sementara Hilmi sedang “dieksekusi”, tiba-tiba Nadya muncul di dekat pintu kamar mandi. “Ummi, beya’ Immi”, ujarnya sambil memperlihatkan tahi Hilmi di tangannya yang dia bungkus dengan celana Hilmi yang dipakainya tadi.
Tentu saja, Si Ummi kaget dan tak menyangka kalau Nadya bisa melakukan hal seperti itu.

Makassar, Maret 2008

[+/-] Selengkapnya...

Minum Obat Tanpa Paksaan

Biasanya, Nadya dan Hilmi, kedua buah hati kami sangat sulit diberi obat. Meminumkan mereka obat yang berbentuk sirup atau puyer yang dicampur air adalah kegiatan yang bisa bikin stress.

Empat hari yang lalu, Nadya kami bawa ke dokter karena muntah-muntah dan “buang-buang air”. Hal ini bermula ketika kami bawa mereka belanja ke mall pada sabtu malam. Tiba di rumah, Nadya kelihatan pucat dan tidak bergairah melakukan apapun, maunya hanya baring. Tak lama kemudian, dia muntah. Sepanjang malam, kira-kira 4-5 kali Nadya muntah disertai demam.

Obat yang kami beli di apotek langsung kami berikan pada Nadya. Seperti biasa, dia menolak sejadi-jadinya sambil menangis dan berteriak-teriak. Kalau sudah begitu, akhirnya obat masuk juga ke mulutnya dengan cara dipaksa. Hal ini masih berlangsung hingga 2 hari berikutnya.

Pengaruh membaca buku Asma Nadia dan Isa ada juga. Buku “Potret rumah Penuh Warna” memberi inspirasi pada kami untuk memberikan obat pada anak-anak dengan cara lain. Kami mencoba membujuknya agar mau minum obat. Dia menolak. Kami rayu dan kami puji-puji. “Pintarki tawwa Nadya minum obat itue, coba dulu, nak. Sedikitmo”. Akhirnya dia mau mencicipi obatnya pada ujung-ujung sendok dalam posisi duduk tanpa dipegang lagi. Kami makin memujinya. “Palla’na tawwa, pintar mentongi”, pujiku bersama umminya. Maka obat sebanyak 1½ sendok berhasil dihabiskannya. Sejak saat itu, kami memberi Nadya dan Hilmi obat tanpa memaksa, tapi dengan memuji-muji sambil mendudukkannya di kursi.

Makassar, 19 Maret 2008

[+/-] Selengkapnya...

Keluarga NHA

Keluarga NHA