Tinggal di Tamangapa membuat Nadya dan adik-adiknya makin sering menemukan tantangan baru. Apa yang belum pernah mereka rasakan saat tinggal di BTP, harus mereka rasakan ketika tinggal di Tamangapa. Yang belum pernah mereka coba lakukan, terpaksa harus dilakukan. Mungkin itu cara Allah untuk menempa mereka agar memiliki mental yang lebih baik.
Bisa dibayangkan, betapa melelahkannya menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah pp sejauh kurang-lebih 26 Km setiap hari. Belum lagi kalau "pasukan" sapi memenuhi jalan di Tamangapa. Kelelahan makin memuncak karena terlalu lama berada di jalan. Nadya dan adik-adiknya sudah pernah merasakan perjalanan selama 2 jam dari sekolah ke rumah akibat macet panjang.
Ada tantangan lain yang juga dialami oleh Nadya. Dalam sebuah perjalanan menuju ke sekolah bersama Abi, tiba-tiba ban motor Abi kempes. Rupanya ban motor bagian belakang bocor. Harus ditambal atau mungkin diganti ban dalamnya. Hal tersebut terjadi di depan Kampus UIM, Jl. Perintis Kemerdekaan. Tengok kiri-kanan, tidak ada bengkel motor di sekitar tempat itu. Sepertinya Abi harus mendorong motor beberapa meter untuk menemukan bengkel atau tempat press ban.
Supaya tidak terlambat, maka Abi menyarankan kepada Nadya untuk melanjutkan perjalanan dengan naik angkot (pete-pete) kemudian lanjut dengan naik ojek (off-line). Awalnya Nadya tidak mau. Tapi setelah diyakinkan bahwa akan butuh waktu lama untuk menambal ban, maka Nadya pun setuju. Hari itu menjadi pengalaman pertama Nadya naik angkutan umum sendirian, naik pete-pete dan naik ojek.
Hilmi punya pengalaman yang berbeda. Penyebabnya adalah saluran air yang kurang bagus di rumah kami, di Madani Land. Kalau hujan deras, air di lantai kamar mandi meluap. Air kotor dari selokan pun ikut masuk melalui saluran tersebut. Karena volumenya sangat besar, air meluber hingga ke kamar Hilmi. Kalau sudah begitu, kami harus mengeringkan dan membersihkan lantai setelah hujan reda, tapi bau busuknya masih tercium, bahkan setelah lantainya dipel dengan cairan pembersih lantai yang harum. Kadang-kadang, kasur Hilmi ikut basah kena air selokan yang meluap. Maklum, tempat tidur Hilmi hanya berupa kasur beralaskan tikar, tanpa dipan atau besi penyangga.
Suatu malam, mendung nampak di atas langit Tamangapa. Saat itu Hilmi sudah terlelap dalam tidurnya. Waktu menunjukkan Pkl. 00.30 tengah malam. Abi mulai cemas, tapi masih menunggu perkembangan situasi. Hujan sudah mulai turun. Sejam kemudian, petir makin ramai di atas langit. Abi segera membangunkan Hilmi perlahan-lahan dan mengajak pindah ke ruang lain yang lebih tinggi, meskipun banyak nyamuk karena ruangannya terbuka. Hilmi pun bersedia pindah dan kasurnya segera diamankan agar tidak basah. Malam itu, Hilmi melanjutkan tidurnya di atas lantai beralaskan karpet.
Tuesday, November 27, 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Keluarga NHA

No comments:
Post a Comment