Tentang Hari Libur

Salah satu tantangan bagi kami setelah pindah domisili dari BTP ke Madani Land adalah jarak yang sangat jauh antara rumah (Madani Land) dengan sekolah dan kantor kami. Hal tersebut menyita beban pikiran tersendiri. Betapa tidak. Pengeluaran untuk transportasi bertambah kurang lebih 1,5 juta setiap bulannya. Namun demikian, transportasi tidak sekedar membawa masalah bagi kami. Banyak diskusi positif yang terjadi saat perjalanan dari rumah ke sekolah/kantor atau sebaliknya.


Suatu hari, saat dalam perjalanan pulang ke rumah, mobil layanan umum yang ditumpangi Aisyah, Hilmi, dan Ummi terjebak macet. Sambil mengeluh, Aisyah menyampaikan analisisnya kepada Ummi, "macet ini pasti karena bukan hari libur di', Ummi? Coba hari libur, pasti tidak macet". Analisis polos Aisyah itu didasarkan pada pengalamannya selama ini ketika berada di jalan. Kerap kali Aisyah menemukan kondisi jalan macet saat dalam perjalanan ke sekolah atau saat pulang dari sekolah pada hari-hari aktif sekolah.

Setelah lama membandingkan antara situasi libur dan tidak libur sekolah/kerja, Aisyah mengalihkan pikirannya pada hal lain. "Tapi matahari tidak pernah libur di', Ummi", tanyanya sekali lagi pada Ummi bermaksud mengkonfirmasi pemahamannya. "Tiap hari ada matahari", lanjutnya. "Tapi kalau malam tidak ada matahari", tiba-tiba Hilmi nyeletuk mematahkan pernyataan adiknya. Aisyah tidak mau kalah. Dia memaparkan argumennya. "Kalau malam, matahari tidak liburji. Dia cuma panggil teman-temannya, bulan sama bintang-bintang. Kakak Hilmi salah." 
Seakan lupa bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang siswi TK, Hilmi menyampaikan pula argumennya. "Waktu siang hari, matahari bersinar ke tempat kita. Kalau malam, matahari pindah posisi. Dia bersinar ke arah daerah-daerah di negara lain. Begitu Aisyah yang benar". 

Haddeeuuhh. Apa tong nataukangi yang begitu anak umur 4 tahun, Nak Hilmi.


Tapi paling tidak, diskusi tersebut menggambarkan bahwa mereka berdua ke sekolah tidak hanya menghabiskan uang untuk transportasi, hehehe....